Tuesday, December 27, 2011
The Godfather Mengangkat Citra Mafia Italia di Layar Putih
Kerap memperoleh predikat sebagai film terbaik sepanjang masa, The Godfather (1972) garapan sutradara Francis Ford Coppola mengangkat tema klasik perang antar keluarga mafia Italia-Amerika (Cosa Nostra) dengan pendekatan yang berbeda dari film-film bertema sejenis.
Film-film bertema gangster atau dunia hitam lazimnya mengambil plot dari sudut pandang orang luar (outsider) - misalnya aparat - yang melihat anggota mafia dan organisasinya dengan penuh kebencian dan kemuakan, dan berupaya “menghukum” karakter-karakter sampah masyarakat tersebut dengan menempatkan mereka pada posisi antagonis, yang di penghujung cerita akhirnya dilibas oleh penegak hukum. Kontras dengan pendekatan klise tersebut, The Godfather mengambil perspektif orang dalam (insider) yang melihat proses lahir, tumbuh dan bertambah kuatnya organisasi mafia adalah konsekuensi dari sistem politik dan sosial yang korup.
Bertolak belakang dengan kebencian masyarakat pada sosok mafia di dunia nyata, The Godfather memperoleh sambutan antusias publik. Film dengan anggaran pembuatan 6,5 juta dollar ini memperoleh pendapatan kotor hingga 245 juta dollar selama masa pemutarannya (perhitungan nilai dollar tahun 1972-1973). The Godfather memenangkan piala Oscar untuk film terbaik, skenario adaptasi (Francis Ford Coppola dan Mario Puzzo), dan pemeran utama pria (Marlon Brando), di samping delapan nominasi lainnya. Musik tema film yang digarap oleh Nino Rota dan Carmine Coppola juga memperoleh banyak pujian dan menjadi salah satu musik tema film yang paling dikenang sepanjang masa.
Namun ada satu sisi yang membikin sebagian orang miris, yakni kenyataan bahwa The Godfather juga memiliki andil dalam “memutihkan” citra mafia, khususnya mafia Italia (Cosa Nostra). Bahkan Coppola sendiri sempat ragu-ragu untuk menyutradarainya karena khawatir hasilnya akan terkesan memuja-muja (glorify) gaya hidup anggota mafia yang menghalalkan kekerasan dan pembunuhan.
Dalam film itu memang kehidupan Keluarga Corleone sebagai sentral cerita film digambarkan layaknya keluarga aristokrat kaya dan berpengaruh. Tidak ada adegan perjudian kelas bawah, tempat pelacuran murah, atau aktivitas-aktivitas gelap lain yang biasa menjadi ladang bisnis gangster papan bawah. Sebaliknya, sepanjang film berseliweran orang-orang berpakaian tuksedo rapi dengan gerak tubuh dan artikulasi yang elegan, bergaul dengan kalangan selebritis, dekat dengan politisi federal dan penegak hukum yang membekingi operasi ilegal mereka, dan segala aspek gaya hidup glamor lainnya.
The Godfather bahkan mampu mempengaruhi perubahan karakter dan tabiat anggota mafia di dunia nyata. Para bos maupun anggota biasa Cosa Nostra menyambut antusias film tersebut dan meniru-niru gerak tubuh maupun gaya hidup para karakter di dalamnya. Paulie Intiso dan Nicky Giso, dua anggota keluarga mafia Patriarca di New York, setelah menonton The Godfather mulai mengubah gaya bicara dan tata bahasa mereka, dimirip-miripkan dengan Don Vito Corleone (Marlon Brando). John Gotti, kepala keluarga Gambino yang dijuluki “the Teflon Don” (karena dikenal sangat licin dalam menghindari jeratan hukum - seperti panci teflon anti lengket) mengimitasi gaya hidup glamor keluarga Corleone dengan menampilkan kehidupan keluarganya sendiri kepada pers dan masyarakat umum layaknya keluarga aristokrat. Juga adegan mencium tangan Don Corleone sebagai tanda penghormatan turut ditiru para kepala keluarga mafia dengan menyuruh anak buah mereka melakukan hal yang sama.
Terlepas dari keluhan terhadap distorsi penggambaran yang membikin penjahat nampak seperti warga masyarakat teladan, kita dapat melihat bahwa di situlah letak kekuatan The Godfather membentuk image baru mafia ke dalam ingatan kolektif publik yang pernah menontonnya. The Godfather, walau tidak sampai menggiring orang untuk berpikir kalau anggota mafia itu orang baik dan layak diteladani, berhasil menanamkan rasa empati publik dengan menampilkan citarasa berkelas dan sisi manusiawi dari mereka yang selama ini dianggap sebagai sampah masyarakat.
Penonton diajak untuk bersimpati kepada Don Corleone yang kebapakan dan keluarganya yang “dizalimi” oleh Emilio Barzini, Philip Tattaglia, dan segenap komplotannya. Pada akhir film mereka bersorak ketika Michael Corleone (Al Pacino) - sang kepala keluarga baru yang naik menggantikan ayahnya – akhirnya berhasil menetralisir ancaman dengan membantai sekaligus lima kepala keluarga mafia New York plus Moe Greene, pengelola kasino milik keluarga Corleone di Las Vegas yang membangkang. Jarang yang berpikir kritis bahwa melakukan pembunuhan berencana di kehidupan nyata adalah kejahatan serius.
Bagaimanapun Coppola nampaknya berusaha untuk tidak terlalu jauh meromantisasi kehidupan organisasi kriminal. Pada dua sekuel The Godfather (The Godfather part II dan III) dia lebih memusatkan cerita pada tragedi kehidupan Michael sang pewaris “tahta” keluarga Corleone. Michael mewarisi kecerdasan dan bakat kepemimpinan ayahnya, namun kehilangan sisi lembut dan kehangatan pribadi sang ayah yang membuatnya dicintai banyak orang.
Michael adalah pria yang dingin, kalem, tak banyak bicara atau tersenyum. Orang sulit menduga isi hatinya. Sepintas dia lebih terlihat seperti pengusaha biasa yang menjalankan bisnis legal. Dan memang kebanyakan bisnisnya legal – termasuk beberapa kasino di Las Vegas yang menurut hukum setempat diperbolehkan. Yang membedakannya dengan pengusaha normal adalah dia memelihara sayap kriminal - organisasi di bawah kendali caporegime-nya yang berisi orang-orang terlatih untuk mengamankan kepentingan bisnisnya dengan segala cara, termasuk membunuh jika diperlukan.
Sebagai organisator dia sangat efektif dan brilyan. Saking efektifnya, sampai-sampai mampu menyingkirkan konflik batin dengan tak segan membunuh kakaknya sendiri, Fredo Corleone (John Cazale), yang mengkhianatinya. Sebagai kepala keluarga dia sangat loyal, berusaha melindungi keselamatan keluarganya dengan segala cara, namun di sisi lain menuntut loyalitas serupa yang bagi orang lain tidak masuk akal. Dia memukul dan mengusir istri yang dicintainya, Kay Adams (Diane Keaton), ketika mengetahui Kay sengaja menggugurkan kandungannya. Kay yang didorong rasa muak pada kehidupan kriminal suaminya berpikir lebih baik menggugurkan kandungan karena tidak ingin anaknya kelak akan menempuh jalan hidup yang sama seperti bapaknya sebagai bos organisasi kriminal.
Keputusan membunuh Fredo menyisakan penyesalan mendalam yang menghantui sisa hidup Michael. Orang yang paling dia percayai, Tom Hagen sang consiglieri (penasihat keluarga) telah meninggal, istrinya pergi dan menikah dengan orang lain – walau tetap menjalin hubungan baik dengannya. Elemen putih yang masih tersisa tinggal anak-anaknya yang telah tumbuh dewasa dan memilih jalan hidup lurus.
Secara bertahap Michael berusaha membersihkan bisnisnya dan memulihkan citranya sebagai warga masyarakat yang baik. Namun bak terkena kutukan, dia tak mampu lepas dari jerat kehidupan kriminal ketika berturut-turut muncul berbagai insiden yang menghalangi usahanya menjadi orang baik. Puncaknya adalah ketika dia harus kehilangan putri yang dicintainya yang tewas tertembak saat terjadi percobaan pembunuhan terhadapnya di muka gedung teater di Sicilia.
The Godfather merupakan contoh bagus bagaimana sebuah karya seni, khususnya dalam format audio-visual dapat mempengaruhi opini publik atas suatu isu. Strategi memanfaatkan kekuatan sugesti film sebagai bagian dari kampanye public relations dapat kita lihat, misalnya, pada film-film propaganda yang dibikin untuk menampilkan kehebatan teknologi perang dan pasukan tempur Amerika Serikat macam seri film Sylvester Stallone, the First Blood (Rambo).
The Godfather, walau tidak didanai oleh mafia namun selama pembuatannya banyak dipermudah oleh organisasi kriminal tersebut. Mereka meminjamkan orang-orangnya dalam proses produksi, membantu riset cerita, menyediakan akses dan keamanan di lokasi syuting, hingga mengizinkan beberapa anggota mafia ikut bermain. Sebutlah Lenny Montana yang memerankan Luca Brasi (tukang pukul Don Corleone) dan Gianni Russo yang memerankan suami Connie Corleone, Carlo Rizzi.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment